Etika Dasar

Etika Dasar

Beberapa waktu lalu Indonesia menjadi sorotan karena survei yang dilakukan perusahaan Microsoft melalui Digital Civility Index (DCI), sebagaimana penulis kutip dari laporan Civility, Safety and Interaction Online edisi ke-5 bulan Februari 2021 yang dikeluarkan Microsoft. Indonesia menduduki rangking 29 dengan nilai DCI 76, yang menunjukan tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah dibawah Negara Singapura dan Taiwan. Keberadaban yang dimaksud dalam laporan ini terkait dengan perilaku berselancar di dunia maya dan aplikasi media sosial, termasuk risiko terjadinya penyebarluasan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian atau hate speech, diskriminasi, misogini, cyberbullying, trolling atau tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, micro-aggression atau tindakan pelecehan terhadap kelompok marginal (kelompok etnis atau agama tertentu, perempuan, kelompok difabel, kelompok LGBT dan lainnya) hingga ke penipuan, doxing atau mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan di dunia maya guna mengganggu atau merusak reputasi seseorang, hingga rekrutmen kegiatan radikal dan teror, serta pornografi.

Di era digital saat ini, dimana komunikasi bisa dilakukan secara bebas tanpa batasan waktu dan tempat, ada banyak hal yang terabaikan. Masyarakat Indonesia yang seharusnya menjunjung adat ketimuran dapat menunjukkan nilai-nilai budaya Indonesia yang sudah dikenal dunia seperti keramah-tamahan dan kesopanannya. Sayangnya, hal ini sepertinya terlupakan dan terabaikan ketika berselancar di dunia maya. Ketika mengunjungi platform media sosial seperti Instagram, Facebook atau Twitter maupun layanan video berbagi seperti  YouTube, kita dengan mudah menjumpai konten-konten sensitif seperti konten dengan tema politik, suku, agama dan ras, bila kita merujuk pada kolom komentar tentu akan kita jumpai banyak sekali komentar-komentar yang tidak mengindahkan lagi norma-norma kesopanan yang ada di masyarakat Indonesia.

Penulis tidak membahas faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi keberadaban netizen di Indonesia. Sepemahaman penulis, selama ini masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi kesopanan dan tata karma. Sehingga, dalam interaksi sosial secara langsung tatap muka, masyarakat cenderung lebih mawas diri dan berhati-hati. Bisa jadi untuk menghindari cibiran, celaan, atau sanksi sosial yang berlaku di masyarakat bila melanggar nilai-nilai tersebut. Hal berbeda terjadi di dunia media sosial, dimana setiap individu bisa membuat akun palsu atau tanpa nama yang kemudian hari bisa dihapus atau ditinggalkan bila sudah tidak digunakan lagi. Seseorang yang ingin melakukan kejahatan melalui media sosial dengan menghina, menghujat, melecehkan atau bahkan menipu akan dengan sangat mudah melancarkan aksinya tanpa ada sanksi sosial yang akan dihadapi di dunia nyata. Perilaku buruk di dunia maya akan semakin meningkatkan fenomena aksi cyber bullying. Korban cenderung memilih untuk melaporkan oknum-oknum yang melakukan cyber bullying ke pihak yang berwajib. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi orang-orang yang dengan sengaja menyerang orang lain lewat media sosial. Menurut UU No 19 Tahun 2016 sebagai Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, mulai pasal 27 sampai 30. Baik menyangkut konten yang tidak selayaknya diunggah maupun penyebaran hoaks dan ujaran-ujaran kebencian, termasuk juga mengambil data orang lain tanpa izin

Etika dalam bermedia sosial

1.    Pergunakan bahasa yang baik

Dalam beraktivitas di media sosial, hendaknya selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan resiko kesalahpahaman yang tinggi. Alangkah baiknya apabila sedang melakukan komunikasi pada jaringan internet menggunakan bahasa yang sopan dan layak serta menghindari penggunaan kata atau frasa multitafsir. Setiap orang memiliki preferensi bahasa yang berbeda, dan dapat memaknai konten secara berbeda, setidaknya dengan menggunakan bahasa yang jelas dan lugas Anda telah berupaya mengunggah konten yang jelas pula.

2.    Hindari Penyebaran SARA, Pornografi dan Aksi Kekerasan

Sebisa mungkin hindari menyebarkan informasi yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama dan Ras) serta pornografi pada jejaring sosial. Biasakan untuk menyebarkan hal-hal yang berguna dan tidak menimbulkan konflik antar sesama. Hindari juga mengupload foto kekerasan seperti foto korban kekerasan, foto kecelakaan lalu lintas maupun foto kekerasan dalam bentuk lainnya. Jangan menambah kesedihan para keluarga korban dengan menyebarluaskan foto kekerasan karena mungkin saja salah satu dari keluarganya berada di dalam foto yang Anda sebarkan.

3.    Kroscek Kebenaran Berita

Anda diharapkan waspada ketika kita menerima suatu informasi dari media sosial yang berisi berita yang menjelekkan salah satu pihak di media sosial dan bertujuan menjatuhkan nama baik seseorang dengan menyebarkan berita yang hasil rekayasa. Maka hal tersebut menuntut anda agar lebih cerdas lagi saat menangkap sebuah informasi, apabila Anda ingin menyebarkan informasi tersebut, alangkah bijaknya jika Anda melakukan kroscek terlebih dahulu atas kebenaran informasi tersebut.

4.    Menghargai Hasil Karya Orang Lain

Pada saat menyebarkan informasi baik dalam bentuk foto, tulisan maupun video milik orang lain maka biasakan untuk mencantumkan sumber informasi sebagai salah satu bentuk penghargaan atas hasil karya seseorang. Jangan membiasakan diri untuk serta merta mengcopy-paste tanpa mencantumkan sumber informasi tersebut.

5.    Jangan Terlalu Mengumbar Informasi Pribadi

Ada baiknya Anda harus bersikap bijak dalam menyebarkan informasi mengenai kehidupan pribadi (privasi) Anda saat sedang menggunakan media sosial. Janganlah terlalu mengumbar informasi pribadi Anda terlebih lagi informasi mengenai nomor telepon atau alamat rumah Anda. Hal tersebut bisa saja membuat kontak lain dalam daftar Anda juga akan menjadi informasi bagi mereka yang ingin melakukan tindak kejahatan kepada diri Anda.

Kita, masyarakat secara umum, haruslah lebih sadar dengan aturan dalam menggunakan media sosial. Walaupun orang lain tidak mengetahui identitas asli kita, alangkah baiknya bila kita tetap menjaga sopan santun dan tata krama yang selama ini menjadi nilai kebanggaan bangsa Indonesia. Kita tentunya tidak menginginkan jika netizen Indonesia terkenal di mata dunia bukan karena prestasi tetapi karena kata-kata tidak sopan dan kelakuan bar-bar yang ditebarkan di dunia maya. Bijaklah dalam menggunakan media sosial demi diri kita sendiri dan masyarakat yang lebih baik. Jadi pergunakanlah media sosial sebaik dan sebijak mungkin terlebih lagi dalam hal penyebaran informasi. Biasakan untuk selalu berpikir terlebih dahulu sebelum Anda bertindak. Semoga bermanfaat. (Penulis : Dalfin Ponco Nugroho)

https://www.microsoft.com/en-us/online-safety/digital-civility?activetab=dci_reports:primaryr3

https://zahiraccounting.com/id/blog/etika-dalam-media-sosial/

Jakarta (ANTARA) - Warganet harus mengutamakan etika dalam berinternet, terutama saat berinteraksi di media sosial, sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi pengguna lain dan masyarakat.Internet ibarat pisau bermata dua, satu sisi memudahkan komunikasi dan pencarian informasi, sisi lain ada dampak negatif akibat hoaks, pornografi, dan penipuan daring, kata akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Yanti Dwi Astuti pada webinar ”Indonesia Makin Cakap Digital”, Jumat.”Dampak negatif internet memicu tindakan yang melanggar etika digital,” kata Yanti dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Siberkreasi itu.Baca juga: ASN dituntut memiliki keterampilan digital

Ia menyatakan, untuk menjadi warganet berakhlak mulia pengguna digital seharusnya mampu mengeliminasi pelanggaran etika digital di media sosial. Selain itu, warganet juga membutuhkan literasi digital terkait tata krama penggunaan internet (netiket).

”Penguasaan soft skill literasi digital harus dimiliki para pengguna media digital,” tegas Yanti.

Bagi Yanti, menjadi warganet berakhlak mulia dapat dilakukan dengan cara mengenali netiket di ruang digital. Di antaranya adalah menghormati orang lain, tidak membawa-bawa SARA, menghormati hak cipta, menghargai privasi, bijak dan santun bertutur kata, dan jadilah insan yang pemaaf.

Dalam paparannya, Yanti juga menyoroti banyaknya kasus pelanggaran etika di media sosial.Baca juga: Akademisi tekankan keterampilan digital cegah hal negatif dunia maya

”Misalnya mengeluh, mengumpat, menyebar hoaks, ghibah, adu domba, nyinyir, bullying,” sebut anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) itu.

Dari perspektif budaya digital, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang Nawang Warsi mengatakan, menjadi warganet berakhlak mulia berarti melakukan kebaikan kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain, dan menahan diri tatkala disakiti.

Menurut Nawang, meskipun hak digital telah menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital, namun hal itu juga disertai tanggung jawab.

”Ada hak, ada pula tanggung jawab. Misalnya, menjaga hak-hak atau reputasi orang lain. Menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, atau kesehatan dan moral publik,” pungkas Nawang Warsi.

Baca juga: Literasi digital bantu jaga demokrasi di ruang digitalBaca juga: Inovasi dan peka kebutuhan pasar kunci perusahaan rintisan bertahanBaca juga: Kemenkominfo bagi ilmu soal konsep "social media branding"

Pewarta: Arnidhya Nur ZhafiraEditor: Suryanto Copyright © ANTARA 2022

Menyaksikan tayangan siaran langsung timnas U19 dalam kualifikasi Piala ASIA di layar RCTI pada Sabtu, 12 Oktober 2013 memang mengasyikkan. Hal yang membuat kita senang karena tim Indonesia yang dipimpin Coach Indra Syafri mampu menghadirkan tontonan sepak bola kelas dunia ...jadi kalau ibarat  ada pepatah asing "walk like a champion"....disini bukan hanya  jalan seperti juara...tapi bermain sebagai juara! Sebagai penonton hasil 3:2 cukuplah menunjukkan tim ini siap 1000 persen untuk lolos ke Myanmar 2014, tapi yang nggak siap rupanya penonton, terutama pemirsa televisi yang mendapatkan suguhan menarik ternyata ada sejumlah spot iklan masuk ketika tayangan live sepakbola sedang berlangsung baik ketika terjadi diskusi antar petugas AFC apakah pertandingan tetap dilanjutkan atau tidak  ketika hujan deras membuat lapangan stadion Gelora Bung Karno tergenang air sehingga mengganggu jalannya pertandingan atau ketika terjadi pelanggaran dalam permainan itu sendiri. Bagi saya tidak eloklah tayangan iklan sepanjang 30 detik yang full frame menutupi siaran langsung sepakbola. Lantas manfaatnya apa tayangan iklan tersebut? Padahal slot iklan sudah penuh baik ketika pertandingan sebelum dilakukan lewat segmen komentar. Apalagi pada saat acara dimulai, layar televisi jadi berbentuk lebih kecil karena ada tayangan iklan di pinggir layar, belum lagi running text dan superimposed sampai penonton tidak bisa melihat bola yang sedang dipermainkan pemain. Ini jelas tidak fair bagi penonton karena seharusnya stasiun televisi sudah cukup "kaya" , "makmur", dan "profit" dengan tayangan yang berating tinggi. Kok masih kurang juga? Apakah tidak sebaiknya tayangan sepakbola tim nasional dikembalikan saja ke TVRI yang tanpa iklan? Dan ini juga ditambah dengan jenis tayangan iklan ini disisipi promosi yang isinya pemilik dari stasiun televisi dengan agenda politiknya. Ini jelas korupsi waktu tayang penonton. Sedikit di luar sepakbola informasi tentang Idhul Adha hari ini ada laporan koresponden televisi berita yang awalnya menceritakan ada sholat Ied di kota tertentu, tapi diujungnya ada pemotongan hewan kurban yang ternyata dilakukan oleh pemilik televisi tersebut. Waduh! Nggak mau rugi ya! Iklan memang bisa menggerakkan ekonomi televisi karena lebih dari 60 persen kue iklan yang puluhan trilyun di Indonesia lari ke media televisi. Untuk lebih kreatif harusnya penayangan iklan tidaklah digelontorkan pada saat acara yang ditunggu penonton  seolah-olah tidak terserap di program lain. Kalau belajar mengenai televisi memang harus ke pencipta televisi dan programnya seperti Amerika Serikat yang membatasi durasi penayangan iklan dalam program tertentu sehingga tidak membuat body program televisi menjadi berkurang dari durasi seharusnya. Misalnya tayangan 30 menit, cukup iklan 6 menit, kalau yang 60 menit cukup 48 menit bodynya dan iklan 12 menit yang terbagi dalam sejumlah segmen. Jadi stasiun televisi hargai pemirsa dong!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Lyfe Selengkapnya

Pendapat Tewu diamini oleh perwira Polri lain yang menolak disebutkan namanya. Kata dia, UU No. 2/2002 memang memberi kewenangan kepada setiap polisi untuk memeriksa dan merazia setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Tetapi sebelum merazia, polisi terlebih dahulu menerjunkan intel. Jika memang ada indikasi pelanggaran, baru polisi masuk merazia.

Dikatakannya, saat merazia polisi sedang melakukan penyelidikan, bukan penyidikan. Dalam hal penyelidikan, polisi hanya berhak menangkap, tidak berwenang menahan. Ada batas waktu 1 x 24 jam bagi polisi.

Itu sebabnya orang-orang yang diduga pengguna atau pengedar terlebih dahulu dibawa ke kantor polisi untuk dihadapkan pada pemeriksaan lanjutan. Jika buktinya cukup kuat, statusnya menjadi penyidikan dan polisi berhak menahan.

Penjelasan lain diberikan oleh Rudi. Menurutnya, razia termasuk bagian dari penggeledahan. Oleh sebab itu, dasar hukum untuk melakukan razia ada  di UU No.8/1981 tentang hukum acara pidana.

Rudi menyatakan razia adalah upaya polisi untuk menemukan dalam kondisi belum tahu apa-apa tapi mencurigai ada transaksi dan ada laporan dari masyarakat. Kalau memang ditemukan barang bukti, lanjut Rudi, langsung dilakukan penangkapan.

Mengenai pemilihan tempat hiburan sebagai target razia, Carlo  menyatakan  sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat hiburan dijadikan tempat penyalahgunaan dan peredaran narkoba. Oleh karena itu, lanjut dia, kepolisian melakukan operasi berantas narkoba dengan razia di tempat hiburan.

Carlo menjelaskan ada dua tahap operasi yaitu terbuka dan tertutup. Yang tertutup dengan cara anggota polisi melakukan menyamar dan menangkap. Sementara operasi terbuka melibatkan polisi berseragam dan mobil unit.

Hasil operasi sejauh ini, yang diperiksa urine dari tempat hiburan sudah lebih dari 1000 orang, kalau tidak salah 1116 orang dan 221 orang positif mengandung narkoba. Polisi melakukan pembinaan dan mereka yang terjaring wajib lapor, papar Carlo kepada hukumonline (29/7).

Carlo menolak anggapan razia tersebut dilakukan secara mendadak. Ia beralasan,  sebelum ada instruksi dari Kapolri baru, Polda Metro Jaya telah memiliki program Berantas Jaya 2005.

Ia membantah pula jika razia yang dilakukan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang oleh polisi. Menurutnya, sebelum melakukan razia, polisi terlebih dahulu  memberi surat peringatan pada pemilik tempat dan tidak serta merta datang.  Dia menambahkan polisi melakukan razia bukan hanya di tempat hiburan, tapi juga ke kampung-kampung, airport, pelabuhan dan daerah perbatasan.

Carlo malah balik mempertanyakan mengapa isu razia baru mencuat ke permukaan setelah ada artis yang terjaring. Kenapa 221 orang yang sudah positif urine mengandung narkoba tidak dipermasalahkan? Tapi begitu Ria Irawan, semua ribut? Razia sudah memasuki minggu ketiga dan 221 orang itu juga wajib lapor semua, tukas  Carlo.

Dihubungi secara terpisah, kriminolog Adrianus Meliala berpendapat polisi tidak boleh gegabah memasuki tempat-tempat hiburan. Pasalnya, orang-orang yang mengunjungi tempat hiburan--yang merupakan tempat yang sudah memiliki izin-- berhak menikmati fasilitas-fasilitas, misal minuman beralkohol  sebagai kompensasi dari tiket yang mereka beli.

Dalam prosedur melakukan razia,  lanjut Adrianus, polisi sebelum masuk ke tempat hiburan harus  meminta izin kepada  pemilik tempat tersebut. Walaupun pada praktiknya, pemilik tidak berani untuk menolak permintaan polisi karena dengan mereka datang dalam jumlah besar.

Begitu juga dalam melakukan penggeledahan. Di mata Adrianus, polisi  tidak bisa langsung menggeledah. Mereka harus meminta pada yang bersangkutan untuk mengeluarkan atau menunjukan benda yang ada pada dirinya.

Untuk kondisi-kondisi tertentu, misal ada indikasi awal, polisi dengan surat perintah dapat menabrak hukum yang lain. Berarti polisi menabrak hukum yang lain untuk suatu kepentingan yang lebih besar. Khusus untuk hal ini, polisi tidak butuh consent (kesepakatan, red.) dari pemilik tempat hiburan.

Selain itu patut diantisipasi terjadinya abuse disaat razia, misal mengambil uang, menjamah pengunjung wanita, atau main keras,  tandas Adrianus.

Untuk hal diatas, Adrianus menekankan perlu ada pengawasan ketat dari lembaga kepolisian. Peran pimpinan regu dalam hal ini sangat krusial.

Di negara lain,  paparnya, ada semacam polisi pengawas yang bersifat netral saat razia untuk mengawasi agar tidak ada implementasi perintah yang salah. Dalam konteks Indonesia, sebenarnya ada polisi pengawas. Sayangnya mereka sangat jarang diikutsertaan dalam operasi razia. Untuk ke depan, Adrianus mengusulkan, polisi harus menerapkan sistem ini.

menggandeng DEMA FISHUM UIN Sunan Kalijaga dalam menyelenggarakan program Difussion #47 pada Jumat sore (16/4). Acara bertajuk “Jebloknya Netiquette Indonesia: Salah Netizen atau Kebijakan?” menghadirkan dua pembicara, yaitu Ndoro Kakung (Praktisi Sosial Media) dan Fajar Cahyono (Research Associate CfDS). Dimoderatori oleh Fununun Nisha, acara berlangsung melalui Zoom Meeting dan Youtube Live.

kali ini membahas mengenai buruknya etika warganet di internet. Hasil riset Microsoft menyatakan tingkat

warganet Indonesia turun sebanyak 8 poin ke angka 76 dibandingkan tahun lalu dan menempatkan Indonesia pada posisi terbawah di Asia Tenggara. Riset ini dilakukan pada 32 negara dengan lebih dari 16.000 responden. Dalam hal ini, etika warganet Indonesia dalam bermedia sosial sangat dipertanyakan.“Secara tidak langsung kita sebagai netizen atau warganet Indonesia adalah orang yang paling

sopan di Asia Tenggara,” ungkap Fajar Cahyono. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan posisi Indonesia turun dibanding tahun lalu. Di antaranya adalah tingkat hoax dan penipuan naik 13 poin ke angka 47%, ujaran kebencian naik 5 poin menjadi 27%, dan diskriminasi turun 2 poin menjadi 13%. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat masyarakat Indonesia terkenal dengan keramahan dan sopan santunnya yang baik. Namun, hal tersebut berbanding terbalik ketika di dunia digital, warganet cenderung tidak mempresentasikan budaya Indonesia. Sering kali kita melihat warganet Indonesia melakukan tindakan agresif dan berbicara tidak sepantasnya di media sosial. Sebagai contoh, beberapa akun media sosial yang diserang warganet Indonesia, yaitu Dayana, aktris Korea Han So Hee, GothamChess, dsb.

Merespon hal tersebut, Fajar Cahyono menyarankan untuk tidak menangkap secara parsial riset yang dikeluarkan oleh Microsoft. Apalagi jika kita memahami riset tersebut secara utuh, metodologi yang digunakan adalah non probability sampling yang mana hanya berlaku pada orang yang disurvei dan tidak dapat digeneralisasi. Dengan demikian, diperlukan riset lanjutan untuk memperkuat hasil.

“Harapannya kita tidak terlalu responsif dan tidak mengafirmasi secara berlebihan apa yang dikatakan Microsoft karena memang dari metodologi tidak bisa digeneralisasi,” kata Fajar Cahyono. Fajar juga menyampaikan bahwa sebenarnya sudah ada aturan normatif dalam bentuk UU ITE, namun tidak ada yang mengatur secara spesifik berkaitan dengan arahan untuk literasi digital dimana seharusnya ini dijadikan program nasional. Tantangan literasi digital bukan saja kemampuan pengguna tetapi juga terkandung roadmap literasi digital Indonesia. Ndoro Kakung menyampaikan ada empat hal yang harus dipahami sebagai literasi digital. Di antaranya; kecakapan bermedia sosial, mengetahui budaya bermedia sosial, memahami etika digital, dan memiliki pengetahuan tentang keamanan digital.

“Dengan empat kecakapan itu maka diharapkan program literasi digital akan tercapai dan efektif dan warganet menjadi lebih beradab, sopan, berpengetahuan, dan selamat menggunakan internet dan media sosial,” ujar Ndoro Kakung. (/Wfr)

"Pandangan Alkitab Tentang Judi : Mengupas Etika dan Implikasinya"

Perjudian adalah permainan di mana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan di mana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang.

Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum pertandingan dimulai(uajy.ac.id)

Judi adalah aktivitas yang melibatkan taruhan uang atau barang berharga pada suatu permainan atau kejadian dengan harapan mendapatkan keuntungan.

Pandangan Alkitab tentang judi tidak secara eksplisit menyebutkan praktik ini dalam teks-teksnya, tetapi prinsip-prinsip yang diajarkan Alkitab memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana orang Kristen harus memandang dan memperlakukan judi.

Prinsip-Prinsip Alkitabiah Terkait Judi

Alkitab berulang kali memperingatkan tentang bahaya cinta akan uang. Dalam 1 Timotius 6:10, dinyatakan bahwa "Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang."

Judi seringkali berakar pada keinginan untuk cepat kaya, yang dapat mengarah pada kecanduan dan perilaku yang tidak etis.  Paulus tidak mengatakan bahwa uang itu sendiri adalah kejahatan, melainkan "cinta uang" atau ketamakan adalah akar berbagai kejahatan. Ketika orang terobsesi dengan uang, mereka cenderung melalukan  tindakan tak bermoral atau jahat untuk mendapatkannya.

Selain itu terjadinya penyimpangan iman dan penderitaan pada diri sendiri seperti stres kekuatiran dan putus asa dan semuanya kontribusi pada penderitaan pribadi.

Lihat Humaniora Selengkapnya